Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-35:
Makna Sufistik Kepemimpinan Jawa & Islam,
Relevansinya Bagi Karakter Kepemimpinan Bangsa
BETAPA
sentral dimensi kepemimpinan dalam khasanah budaya Jawa, sastra piwulang banyak
menulis tentang ajaran kepemimpinan. Misalnya Sultan Agung yang mengembangkan konsep kepemimpinan: “Sang Aji Bathara Buwana”
dalam: “Serat Sastra-Gendhing”, yang memuat Tujuh Amanah. Atau Sri
Sultan Hamengku Buwono I, yang mewariskan ajaran kepemimpinan “Astha-wilapa-sari”,
Delapan Denyut Kebajikan Insani yang membatasi kekuasaan seorang Raja. Demikian
juga dalam tradisi sufistik pada kepemimpinan kekhalifahan Islam.
“Hamangku,
Hamengku, Hamengkoni”
Dalam filosofi ”Haměmayu Hayuning Bawânâ” terkandung di dalamnya
kewajiban Tri Satya Brata. Pertama,
rahayuning bawana kapurba waskitaning
manungsa (kesejahteraan dunia tergantung manusia yang memiliki ketajaman
rasa), menunjuk pada harmoni hubungan antara manusia dengan alam, baik dalam
lingkup dunia sebagai kewajiban ”Hamangku
Bumi”, maupun lingkup yang lebih luas dalam
seluruh alam semesta (universe)
sebagai kewajiban ”Hamengku Buwânâ”.
Kedua, darmaning manungsa mahanani
rahayuning negara (tugas hidup manusia adalah menjaga keselamatan negara),
sebagai kewajiban manusia selama hidup di dunia, dimana kehidupan merupakan
dinamika manusia, yaitu ”Hamengku Nagârâ”. Ketiga, rahayuning
manungsa dumadi karana kamanungsane (keselamatan manusia oleh
kemanusiaannya sendiri). Sehingga dapat dimengerti jika filosofi ”Haměmayu Hayuning Bawânâ” itu menyandang misi akbar bagi manusia di dunia dalam
tiga substansi tersebut, yaitu: ”Hamengku
Nagârâ, Hamangku Bumi, Hamengku Buwânâ”.
Bahwa kewajiban ”Hamengku Nagârâ” itu, karena Tuhan menciptakan manusia yang
berbeda-beda, bergolong-golong dan bersuku-suku, sehingga diperlukan adanya
negara dan pemerintahan yang mengaturnya, agar tidak terjadi seling-surup dan saling-silang
antarmanusia. Manusia wajib ”Hamangku
Bumi”, karena bumi sebagai lingkungan alam telah memberikan sumber
penghidupan bagi manusia untuk bisa melanjutkan keturunan dari generasi ke
generasi, sehingga manusia wajib pula menjaga dan memelihara kelestariannya.
Sementara gelar ”Hamengku Buwânâ” merupakan kewajiban manusia yang lebih luas dalam
mengakui, menjaga dan memelihara seluruh isi alam semesta, agar tetap
memberikan sumberdaya bagi kehidupan manusia, seperti adanya bulan, matahari
dan planet-planet yang lain. Pada hakikatnya, makna yang tersandang dalam ”Hamangku, Hamengku, Hamengkoni” itu
adalah tugas dan kewajiban mulia manusia untuk mengagungkan asma Allah. Karena kalau tidak ada
manusia, maka Tuhan pun tidak akan pernah disebut asma-Nya.
Makna Gelar Ngarsa Dalem
Menurut Kanjeng Syech Ahmad Sirrullah Zaenuddin, Ngarsa Dalem maknanya adalah Ingsun Pribadi (Aku Sendiri). Yaitu aku
yang tersembunyi, aku yang sendirian, aku yang satu, aku yang sepi dari yang
lain, yang oleh karenanya tiada satu pun mampu menemukanku (apalagi melihat dan
menyentuhku maupun menyerupaiku), aku yang tiada yang lain semata aku, aku yang
tiada yang terasakan selain aku. Allah berfirman: “Kuntu Kanzan Makhfiyyan”, artinya “Semula Aku adalah perbendaharaan
yang tersembunyi”.
Dalam tradisi kewalian, seseorang yang hendak diangkat
oleh Allah sebagai Waliy-Nya, adalah merupakan keniscayaan bahwa dirinya pernah
melakukan “khalwat”, menyendiri dari
alam keramaian. Tiada satupun Waliy, yang tidak pernah melakukan khalwat sebelumnya. Khalwat, adalah menyendirikan ke-aku-an dirinya dari pengaruh yang
lain. Tujuannya, supaya seseorang bisa berkonsentrasi penuh merenung dan
menghayati serta merasai ke-akuannya sendiri saja, untuk kemudian mencari tahu “siapa
jatidirinya”.
“Aku adalah Dzat yang bernama Allah. Tiada Tuhan selain
Aku. Tiada arah di dalam kesendirianmu selain Aku. Tiada yang mewujudkanmu
selain Aku. Tiada yang ada sebelummu selain Aku. Maka sembahlah Aku. Aku adalah
satu di sini dan kau adalah satu di situ. Pasrahkanlah ke-aku-anmu kepada-Ku. “Ya
Allah, kalau begitu, siapakah Engkau dan siapakah aku?”. Tiba-tiba Allah berfirman:
“Kau adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasiamu. Ma’rifatilah ke-akuanmu, akan
kau ma’rifati ke-Aku-an-Ku. Rasailah ke-akuanmu, akan kau rasai ke-Aku-an-Ku”.
Ujungnya, “Tiada yang AKU rasai selain AKU”. Pada yang
terakhir inilah yang dimaksudkan dengan kesadaran (maqom) Ngarsa Dalem. Kesadaram
ini, tentu para Nabi dan Waliy telah alami sebelum keterangkatan mereka menjadi
Nabi atau Waliy, dan akan tetap kerap mereka alami dalam kesendirian mereka.
Nabi Muhammad pernah bersabda: “Liy waqtun maa tasa'uniy ghoitu robbiy”. Artinya: “Aku punya waktu
yang tiada memuatku (menguasaiku) selain (kesadaran) Tuhanku”. Untuk mencapai
kesadaran Aku, yaitu Kesadaran (Rasa)
Ngarsa Dalem, Allah menyediakan
sebuah gua yang di dalamnya terdapat empat lorong bagi calon-calon Wali-Nya. Pertama, Lorong Al-Awwal. Kedua, Lorong Al-Akhir. Ketiga, Lorong Adh-Dhahir.
Keempat, Lorong Al-Batin. Melalui mana seorang calon Waliy melintasinya, akan
sampai juga pada Kesadaran Ngarsa Dalem.
Seorang Waliy bisa saja pulang-pergi hanya melalui satu lorong, dua lorong, tiga
lorong, atau komplit melalui empat lorong. Ke empat lorong ini, mengerucut pada
satu titik yaitu Kesadaran Aku, Kesadaran Ngarsa
Dalem.
Dalam tradisi kerajaan, tiada satu pun Raja yang tidak
melakukan laku sebelumnya. Tanpa laku, seorang Raja akan diragukan status
ke-raja-annya. Maksud dari laku, agar
pada dirinya terdapati ragi Kesadaran akan Ngarsa
Dalem. Dengan harapan, supaya kerajaan bumi yang kelak diembannya, terma’rifati,
tersadari dan terbuktikan sebagai pengejawantah Kerajaan Tuhan (amartha). Ketika seorang Raja sejati
memimpin rakyatnya, di hatinya tentu ada kesadaran “Laa anaa illaa Anaa” (Bukan aku, tetapi Aku). Seorang calon Raja
yang tidak terdapati Kesadaran Ngarsa
Dalem, jika terangkat menjadi Raja hanya akan menjadi raja seperti Fir’aun
atau Namrud. Kerajaan yang diembannya nanti, dengan demikian akan menjadi
pengejawantah Kerajaan iblis (asthina).
Siapa pun raja atau pemimpin atau pejabat yang belum
pernah bersama di alam Ngarsa Dalem,
tentu ketika mengatur kerajaannya (negaranya, departemennya, instansinya, dll)
akan berlaku seperti Fir’aun: “Ana
robbukumul a’laa” (aku adalah tuhan kalian yang maha tinggi). “Laa anaa illa anaa” (tidak ada yang ada
selain aku). Tidak ada yang jaya selain aku. Tidak ada yang mengatur selain
aku. Tidak ada yang adil selain aku. Tidak ada yang bijaksana selain aku,.
Tidak ada yang pandai selain aku. Tidak ada yang kuasa selain aku. Tidak ada
yang santun selain aku. Dan sterusnya. Aku jaya, aku pengatur, aku adil, aku
bijaksana, aku pandai, aku mampu, aku kuasa, aku santun, aku agung, aku wibawa,
dan seterusnya.
Kandungan “asma”
dan “sifat-sifat” di dadanya, mereka rasai sebagai muncul dari dan oleh dirinya
sendiri. Akibatnya, “af'al” yang mereka
pancarkan, meski baik akan terma’rifati (oleh ahli kebenaran) sebagai hanya
tebaran butiran intan permata yang terbuat dari plastik semata, bukan tebaran
intan permata serta mirah delima yang asli.
Pancaran af’al baiknya
saja akan hanya serupa dengan plastik atau pohon kering saja, apalagi pancaran af'al jeleknya. Mungkinkah domba-domba
akan diberi makan dengan plastik atau tumbuhan yang kering?
Pada diri setiap orang, di dalamnya pasti terdapat
kandungan “rasa Ngarsa Dalem“ ini.
Hanya saja jika tidak pernah dilatih di alam kesepian (pertapaan) di bawah
asuhan seorang yang ahli di bidangnya (yakni Waly Mursyid kamil mukammil, seorang ulung di bidang ketuhanan dan kenegaraan), rasa Ngarsa Dalem ini akan berhenti pada
“rasa ngarsa dalem” (dengan huruf
kecil) saja. Yakni rasa ngarsa dalem
yang masih tertempurungi rasa kesombongan (baik lembut maupun kasar) yang oleh
karenanya belum bisa merasai kesadaran mutlak.
Orang-orang yang telah masuk ke dalam golongan muqorrobun, rasa Ngarsa Dalem ini telah menjadi ragi bagi keberadaan, kehidupan
dan kesadarannya. Bagi golongan ashabul-yamin,
rasa Ngarsa Dalem ini belum bisa
mereka rasai akibat kesombongannya yang tersembunyi. Ada pun bagi golongan ashhabus-syimal, rasa Ngarsa Dalem ini jelas-jelas tidak bisa mereka rasai akibat
kesombongan kuatnya.
Jalma Kang Utama
Dalam budaya Jawa, hubungan manusia dengan Tuhan yang bersifat teologis (hablu minal-Llah) tercermin dalam
filosofi: ”Manunggaling kawulâ-Gusti”, atau ungkapan: ”Curigâ
manjing Warângkâ”. Hubungan
manusia dengan alam yang bersifat antropologis (hablu minal-’alamien) tercermin dalam ajaran Sultan Agung: ”Mangasah mingising budi, memasah malaning
bumi”[1].
Hubungan harmonis dengan alam itu akan bermuara pada pembentukan ”jalmâ kang utâmâ”, ”sarirâ bathârâ”, “satriya-pinandhita”
atau insan kamil, manusia paripurna yang menggambarkan
“sejati-jatining satriya” atau “sejati-jatining manungsa” yang sudah
sampai pada tataran “kesempurnaan”, membawa misi “hamemayu-hayuning bawana”. Ciri-cirinya harmonis lahir-batin,
jiwa-raga, intelektual-spiritual dan ”kepala-dada”-nya,
yang akan melahirkan nilai-nilai humanisme. Karena itu, tanpa adanya hablu minal-Llah, hubungan kemanusiaan (hablu minan-naas) akan cenderung semu,
munafik dan eksploitatif[2].
Konsep ”jalmâ utâmâ” ini ada relevansinya dengan ”makhluk dua dimensi”-nya Pierre Teilhard de Chardin, seorang filsuf
Perancis, bahwa manusia adalah ”makhluk
langit”. Menurut Chardin, hakikatnya manusia tercipta dari dua unsur yang
berbeda, yaitu unsur bumi --unsur tanah yang rendah-- dan unsur langit yang
tinggi.
Allah menciptakan manusia dari segenggam tanah kering yang berbau. Itulah
yang kemudian menjelma sebagai fisik manusia dengan segala macam
ketertarikannya pada dunia dan hal-hal yang berbau materi. Di sela-sela proses
penciptaan itu berlangsung, Allah pun meniupkan ruh-Nya ke dalam wujud manusia,
hingga ia memiliki kecenderungan untuk “melangit”,
menuju hal-hal spiritual. Dengan ruh, manusia diantar menuju tujuan non-materi
yang tidak bisa diukur di laboratorium. Dimensi inilah yang membawa manusia
pada keindahan, pengorbanan, pemujaan, rasa cinta, kesetiaan, kenikmatan
beribadah, dan lainnya. Hingga akhirnya, manusia menuju suatu realitas Maha
Sempurna, yang gaib, tanpa batas, tanpa akhir, dan tanpa cacat. Itulah Allah Rabbal ‘Alamien.
Kualitas seorang manusia sangat ditentukan oleh interaksi kedua unsur
tersebut. Apabila gaya tarik gravitasi bumi lebih kuat, maka manusia tak akan
jauh berbeda dengan hewan, bahkan lebih buas atau lebih bodoh darinya. Ia akan
sekuat tenaga mencari sebanyak mungkin materi, dengan mengabaikan suara
hati-nurani. Tetapi bila unsur langit lebih kuat tarikannya, manusia akan
menjadi “malaikat” yang terlahir di
dunia.
Hakikatnya kita adalah “makhluk
langit” yang diturunkan Allah untuk menguji seberapa besar keimanan kita
kepada-Nya. Karena itu, selalai dan seingkar apa pun, suatu hari nanti pasti
akan mengingat jatidiri dan janji primordial kepada Allah di alam rahim lalu,
bahwa kita adalah hamba Allah, yang berasal dari Allah dan akan kembali
kepada-Nya jua. Innaa Lillah wa innaa ilaihi rooji’un.
Akhirnya, harus kita sadari bahwa Allah adalah awal dan akhir kehidupan,
seperti pendapat Teilhard, yang juga seorang paleontolog. Lewat kontemplasi
alamnya menyatakan, Allahlah titik awal evolusi (Alpha), tetapi juga titik akhir kesempurnaan (Omega). Seluruh evolusi dunia, sejarah manusia, menuju satu tujuan,
yakni titik Omega di mana Allah
menjadi semua di dalam semua[3].
Renungan Kita
Sekarang ini dan ke depan memang Indonesia memerlukan
pemimpin dan kepemimpinan yang kuat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan
bangsa. Pemimpin yang kuat berarti juga memiliki konsistensi –satya wacana:
satunya kata dengan perbuatan—tegas dan tidak ambivalen.
Jika berbicara tentang
kepemimpinan Islam, kita dapat meneladani kepemimpinan visioner (visonary
leadership/transforming leadership) yang dijalankan Rasulullah SAW., yaitu siddiq
yang artinya jujur atau benar, amanah --dapat dipercaya, tabligh --komunikatif,
fathanah –cerdas dan berpengetahuan.
Pada tataran
implementasi, bobotnya terletak pada aspek muamalah, yaitu pengaturan
tata hubungan antarkelompok masyarakat. Sejalan dengan
proses dialektika, di mana selalu terjadi pergeseran nilai-nilai zaman, maka
apa yang terungkap pada masa-masa yang kemudian, adalah terbentuknya
sintesa-sintesa baru tentang konsep kepemimpinan dalam suatu setting sistem kenegaraan yang amat
berbeda dengan zaman Nabi atau pun masa Mataram dulu. Karena itu, semua
teori kepemimpinan itu harus memperoleh lahan penyemaian yang cocok dengan
budaya setempat.
Dialog Budaya & Gelar Seni
Dalam kerangka pikir seperti itu, dan masih dalam suasana Peringatan Hari Proklamasi
Kemerdekaan RI, maka Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-35 akan
mengangkat topik: “Makna Sufistik
Kepemimpinan Jawa & Islam, Relevansinya Bagi Karakter Kepemimpinan Bangsa”.
Narasumber pertama adalah Cak Kuswaedi
Syafi’ie, MAg, Dosen Tasawuf UII Yogyakarta, Pembina Jama’ah Shaharu Layali
(lek-lekan), Jama’ah Sholawatan Madura,
akan mempertajam pembahasan aspek kepemimpinan dari perspektif tasawuf.
Narasumber kedua adalah KH. Syarif Mashur Ridlo, SE, Pengasuh
Pondok Pesantren “Sultan Agung”, Sleman, akan mengupas dari perspektif ahlul sunnah wal jama’ah yang menjadi
ciri khas gerakan Islam tradisional yang dikembangkan oleh Nahdlatul ‘Ulama. Narasumber
ketiga adalah Eva Imania Eliasa, MPd,
Representasi Jama’ah Thoriqoh Qodirriyah wa Naqsabandiyyah (TQN) Padepokan
Surya Buana, Dosen Jurusan Psikologi Pendidikan & Bimbingan, Program Studi
Bimbingan & Konseling UNY, Pecinta para Sufi, akan mengupas artikel Kyai Syech
Ahmad Sirrulah Zaenuddin tentang ”Ngarsa
Dalem” (Fanaa Fillah) dari fenomena
psikologi kepemimpinan bangsa.
Narasumber keempat adalah KH. Abdul
Muhaimin, Koordinator FPUB: Forum Persaudaraan Umat Beragama DIY, yang akan
memberikan second opinion pembahasan aspek kepemimpinan dari perspektif tasawuf
dan perwujudan harmoni kehidupan antaragama dan antarpemeluknya.
Dialog dipandu oleh KAW Wibbie
Maharddhika, SFil, Pengasuh Ashabul Cafe, didampingi Hari Dendi, Pengasuh ”YogyaSemesta” sebagai Host. Gelar Seni disesuaikan dengan suasana bulan suci
Ramadhan, berupa Sholawatan dari
Padepokan Sholawat, Donga Syi’ir Panggiring Ati, dan Fashion Show oleh Paras Ayu Collection. Diselenggarakan di
Bangsal Kepatihan, Slasa Wage, 24
Agustus 2010, jam 19.30-22.00 (bakda Shalat Tarawih).
Yogyakarta,
16 Agustus 2010
Komunitas
Budaya
“YogyaSemesta”,
ttd.
Hari Dendi
Pengasuh
[1] Dr. Purwadi, “Serat Bimo Suci”, www.jawapalace.org.
[2] SufiNews.Com, “Islam, Iman, dan Ihsan dalam Nilai
Pergerakan”, 29 Juli 2004.
[3] Anonim, “Memperbarui Cara Kita Bertindak”, Renungan Akhir Tahun, 30 Desember
2001.