Kamis, 08 Mei 2014

Makna Sufistik Kepemimpinan Jawa & Islam, Relevansinya Bagi Karakter Kepemimpinan Bangsa



 Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-35:

Makna Sufistik Kepemimpinan Jawa & Islam,
Relevansinya Bagi Karakter Kepemimpinan Bangsa


BETAPA sentral dimensi kepemimpinan dalam khasanah budaya Jawa, sastra piwulang banyak menulis tentang ajaran kepemimpinan. Misalnya Sultan Agung yang mengembangkan konsep kepemimpinan: Sang Aji Bathara Buwana dalam: Serat Sastra-Gendhing, yang memuat Tujuh Amanah. Atau Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang mewariskan ajaran kepemimpinan Astha-wilapa-sari, Delapan Denyut Kebajikan Insani yang membatasi kekuasaan seorang Raja. Demikian juga dalam tradisi sufistik pada kepemimpinan kekhalifahan Islam.


Hamangku, Hamengku, Hamengkoni
Dalam filosofi Haměmayu Hayuning Bawânâ terkandung di dalamnya kewajiban Tri Satya Brata. Pertama, rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa (kesejahteraan dunia tergantung manusia yang memiliki ketajaman rasa), menunjuk pada harmoni hubungan antara manusia dengan alam, baik dalam lingkup dunia sebagai kewajiban Hamangku Bumi, maupun lingkup yang lebih luas dalam seluruh alam semesta (universe) sebagai kewajiban Hamengku Buwânâ.

Kedua, darmaning manungsa mahanani rahayuning negara (tugas hidup manusia adalah menjaga keselamatan negara), sebagai kewajiban manusia selama hidup di dunia, dimana kehidupan merupakan dinamika manusia, yaitu Hamengku Nagârâ”. Ketiga, rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane (keselamatan manusia oleh kemanusiaannya sendiri). Sehingga dapat dimengerti jika filosofi ”Haměmayu Hayuning Bawânâ” itu menyandang misi akbar bagi manusia di dunia dalam tiga substansi tersebut, yaitu: ”Hamengku Nagârâ, Hamangku Bumi, Hamengku Buwânâ”.

Bahwa kewajiban ”Hamengku Nagârâ” itu, karena Tuhan menciptakan manusia yang berbeda-beda, bergolong-golong dan bersuku-suku, sehingga diperlukan adanya negara dan pemerintahan yang mengaturnya, agar tidak terjadi seling-surup dan saling-silang antarmanusia. Manusia wajib ”Hamangku Bumi”, karena bumi sebagai lingkungan alam telah memberikan sumber penghidupan bagi manusia untuk bisa melanjutkan keturunan dari generasi ke generasi, sehingga manusia wajib pula menjaga dan memelihara kelestariannya.

Sementara gelar ”Hamengku Buwânâ” merupakan kewajiban manusia yang lebih luas dalam mengakui, menjaga dan memelihara seluruh isi alam semesta, agar tetap memberikan sumberdaya bagi kehidupan manusia, seperti adanya bulan, matahari dan planet-planet yang lain. Pada hakikatnya, makna yang tersandang dalam ”Hamangku, Hamengku, Hamengkoni” itu adalah tugas dan kewajiban mulia manusia untuk mengagungkan asma Allah. Karena kalau tidak ada manusia, maka Tuhan pun tidak akan pernah disebut asma-Nya.

Makna Gelar Ngarsa Dalem
Menurut Kanjeng Syech Ahmad Sirrullah Zaenuddin, Ngarsa Dalem maknanya adalah Ingsun Pribadi (Aku Sendiri). Yaitu aku yang tersembunyi, aku yang sendirian, aku yang satu, aku yang sepi dari yang lain, yang oleh karenanya tiada satu pun mampu menemukanku (apalagi melihat dan menyentuhku maupun menyerupaiku), aku yang tiada yang lain semata aku, aku yang tiada yang terasakan selain aku. Allah berfirman: “Kuntu Kanzan Makhfiyyan”, artinya “Semula Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi”.

Dalam tradisi kewalian, seseorang yang hendak diangkat oleh Allah sebagai Waliy-Nya, adalah merupakan keniscayaan bahwa dirinya pernah melakukan “khalwat”, menyendiri dari alam keramaian. Tiada satupun Waliy, yang tidak pernah melakukan khalwat sebelumnya. Khalwat, adalah menyendirikan ke-aku-an dirinya dari pengaruh yang lain. Tujuannya, supaya seseorang bisa berkonsentrasi penuh merenung dan menghayati serta merasai ke-akuannya sendiri saja, untuk kemudian mencari tahu “siapa jatidirinya”.

“Aku adalah Dzat yang bernama Allah. Tiada Tuhan selain Aku. Tiada arah di dalam kesendirianmu selain Aku. Tiada yang mewujudkanmu selain Aku. Tiada yang ada sebelummu selain Aku. Maka sembahlah Aku. Aku adalah satu di sini dan kau adalah satu di situ. Pasrahkanlah ke-aku-anmu kepada-Ku. “Ya Allah, kalau begitu, siapakah Engkau dan siapakah aku?”. Tiba-tiba Allah berfirman: “Kau adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasiamu. Ma’rifatilah ke-akuanmu, akan kau ma’rifati ke-Aku-an-Ku. Rasailah ke-akuanmu, akan kau rasai ke-Aku-an-Ku”.

Ujungnya, “Tiada yang AKU rasai selain AKU”. Pada yang terakhir inilah yang dimaksudkan dengan kesadaran (maqom) Ngarsa Dalem. Kesadaram ini, tentu para Nabi dan Waliy telah alami sebelum keterangkatan mereka menjadi Nabi atau Waliy, dan akan tetap kerap mereka alami dalam kesendirian mereka.

Nabi Muhammad pernah bersabda: “Liy waqtun maa tasa'uniy ghoitu robbiy”. Artinya: “Aku punya waktu yang tiada memuatku (menguasaiku) selain (kesadaran) Tuhanku”. Untuk mencapai kesadaran Aku, yaitu Kesadaran (Rasa) Ngarsa Dalem, Allah menyediakan sebuah gua yang di dalamnya terdapat empat lorong bagi calon-calon Wali-Nya. Pertama, Lorong Al-Awwal. Kedua, Lorong Al-Akhir. Ketiga, Lorong Adh-Dhahir. Keempat, Lorong Al-Batin. Melalui mana seorang calon Waliy melintasinya, akan sampai juga pada Kesadaran Ngarsa Dalem. Seorang Waliy bisa saja pulang-pergi hanya melalui satu lorong, dua lorong, tiga lorong, atau komplit melalui empat lorong. Ke empat lorong ini, mengerucut pada satu titik yaitu Kesadaran Aku, Kesadaran Ngarsa Dalem.

Dalam tradisi kerajaan, tiada satu pun Raja yang tidak melakukan laku sebelumnya. Tanpa laku, seorang Raja akan diragukan status ke-raja-annya. Maksud dari laku, agar pada dirinya terdapati ragi Kesadaran akan Ngarsa Dalem. Dengan harapan, supaya kerajaan bumi yang kelak diembannya, terma’rifati, tersadari dan terbuktikan sebagai pengejawantah Kerajaan Tuhan (amartha). Ketika seorang Raja sejati memimpin rakyatnya, di hatinya tentu ada kesadaran “Laa anaa illaa Anaa” (Bukan aku, tetapi Aku). Seorang calon Raja yang tidak terdapati Kesadaran Ngarsa Dalem, jika terangkat menjadi Raja hanya akan menjadi raja seperti Fir’aun atau Namrud. Kerajaan yang diembannya nanti, dengan demikian akan menjadi pengejawantah Kerajaan iblis (asthina).

Siapa pun raja atau pemimpin atau pejabat yang belum pernah bersama di alam Ngarsa Dalem, tentu ketika mengatur kerajaannya (negaranya, departemennya, instansinya, dll) akan berlaku seperti Fir’aun: “Ana robbukumul a’laa” (aku adalah tuhan kalian yang maha tinggi). “Laa anaa illa anaa” (tidak ada yang ada selain aku). Tidak ada yang jaya selain aku. Tidak ada yang mengatur selain aku. Tidak ada yang adil selain aku. Tidak ada yang bijaksana selain aku,. Tidak ada yang pandai selain aku. Tidak ada yang kuasa selain aku. Tidak ada yang santun selain aku. Dan sterusnya. Aku jaya, aku pengatur, aku adil, aku bijaksana, aku pandai, aku mampu, aku kuasa, aku santun, aku agung, aku wibawa, dan seterusnya.

Kandungan “asma” dan “sifat-sifat” di dadanya, mereka rasai sebagai muncul dari dan oleh dirinya sendiri. Akibatnya, “af'al” yang mereka pancarkan, meski baik akan terma’rifati (oleh ahli kebenaran) sebagai hanya tebaran butiran intan permata yang terbuat dari plastik semata, bukan tebaran intan permata serta mirah delima yang asli.
Pancaran af’al baiknya saja akan hanya serupa dengan plastik atau pohon kering saja, apalagi pancaran af'al jeleknya. Mungkinkah domba-domba akan diberi makan dengan plastik atau tumbuhan yang kering?

Pada diri setiap orang, di dalamnya pasti terdapat kandungan “rasa Ngarsa Dalem“ ini. Hanya saja jika tidak pernah dilatih di alam kesepian (pertapaan) di bawah asuhan seorang yang ahli di bidangnya (yakni Waly Mursyid kamil mukammil, seorang ulung di bidang ketuhanan dan kenegaraan), rasa Ngarsa Dalem ini akan berhenti pada “rasa ngarsa dalem” (dengan huruf kecil) saja. Yakni rasa ngarsa dalem yang masih tertempurungi rasa kesombongan (baik lembut maupun kasar) yang oleh karenanya belum bisa merasai kesadaran mutlak.

Orang-orang yang telah masuk ke dalam golongan muqorrobun, rasa Ngarsa Dalem ini telah menjadi ragi bagi keberadaan, kehidupan dan kesadarannya. Bagi golongan ashabul-yamin, rasa Ngarsa Dalem ini belum bisa mereka rasai akibat kesombongannya yang tersembunyi. Ada pun bagi golongan ashhabus-syimal, rasa Ngarsa Dalem ini jelas-jelas tidak bisa mereka rasai akibat kesombongan kuatnya.

Jalma Kang Utama
Dalam budaya Jawa, hubungan manusia dengan Tuhan yang bersifat teologis (hablu minal-Llah) tercermin dalam filosofi: ”Manunggaling kawulâ-Gusti”, atau ungkapan: ”Curigâ manjing Warângkâ”. Hubungan manusia dengan alam yang bersifat antropologis (hablu minal-’alamien) tercermin dalam ajaran Sultan Agung: ”Mangasah mingising budi, memasah malaning bumi[1].

Hubungan harmonis dengan alam itu akan bermuara pada pembentukan ”jalmâ kang utâmâ”, ”sarirâ bathârâ”, “satriya-pinandhita” atau insan kamil, manusia paripurna yang menggambarkan “sejati-jatining satriya” atau “sejati-jatining manungsa” yang sudah sampai pada tataran “kesempurnaan”, membawa misi “hamemayu-hayuning bawana”. Ciri-cirinya harmonis lahir-batin, jiwa-raga, intelektual-spiritual dan ”kepala-dada”-nya, yang akan melahirkan nilai-nilai humanisme. Karena itu, tanpa adanya hablu minal-Llah, hubungan kemanusiaan (hablu minan-naas) akan cenderung semu, munafik dan eksploitatif[2].

Konsep ”jalmâ utâmâ” ini ada relevansinya dengan ”makhluk dua dimensi”-nya Pierre Teilhard de Chardin, seorang filsuf Perancis, bahwa manusia adalah ”makhluk langit”. Menurut Chardin, hakikatnya manusia tercipta dari dua unsur yang berbeda, yaitu unsur bumi --unsur tanah yang rendah-- dan unsur langit yang tinggi.
Allah menciptakan manusia dari segenggam tanah kering yang berbau. Itulah yang kemudian menjelma sebagai fisik manusia dengan segala macam ketertarikannya pada dunia dan hal-hal yang berbau materi. Di sela-sela proses penciptaan itu berlangsung, Allah pun meniupkan ruh-Nya ke dalam wujud manusia, hingga ia memiliki kecenderungan untuk “melangit”, menuju hal-hal spiritual. Dengan ruh, manusia diantar menuju tujuan non-materi yang tidak bisa diukur di laboratorium. Dimensi inilah yang membawa manusia pada keindahan, pengorbanan, pemujaan, rasa cinta, kesetiaan, kenikmatan beribadah, dan lainnya. Hingga akhirnya, manusia menuju suatu realitas Maha Sempurna, yang gaib, tanpa batas, tanpa akhir, dan tanpa cacat. Itulah Allah Rabbal ‘Alamien.
                               
Kualitas seorang manusia sangat ditentukan oleh interaksi kedua unsur tersebut. Apabila gaya tarik gravitasi bumi lebih kuat, maka manusia tak akan jauh berbeda dengan hewan, bahkan lebih buas atau lebih bodoh darinya. Ia akan sekuat tenaga mencari sebanyak mungkin materi, dengan mengabaikan suara hati-nurani. Tetapi bila unsur langit lebih kuat tarikannya, manusia akan menjadi “malaikat” yang terlahir di dunia.                                

Hakikatnya kita adalah “makhluk langit” yang diturunkan Allah untuk menguji seberapa besar keimanan kita kepada-Nya. Karena itu, selalai dan seingkar apa pun, suatu hari nanti pasti akan mengingat jatidiri dan janji primordial kepada Allah di alam rahim lalu, bahwa kita adalah hamba Allah, yang berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya jua. Innaa Lillah wa innaa ilaihi rooji’un.

Akhirnya, harus kita sadari bahwa Allah adalah awal dan akhir kehidupan, seperti pendapat Teilhard, yang juga seorang paleontolog. Lewat kontemplasi alamnya menyatakan, Allahlah titik awal evolusi (Alpha), tetapi juga titik akhir kesempurnaan (Omega). Seluruh evolusi dunia, sejarah manusia, menuju satu tujuan, yakni titik Omega di mana Allah menjadi semua di dalam semua[3].

Renungan Kita
Sekarang ini dan ke depan memang Indonesia memerlukan pemimpin dan kepemimpinan yang kuat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa. Pemimpin yang kuat berarti juga memiliki konsistensi –satya wacana: satunya kata dengan perbuatan—tegas dan tidak ambivalen.

Jika berbicara tentang kepemimpinan Islam, kita dapat meneladani kepemimpinan visioner (visonary leadership/transforming leadership) yang dijalankan Rasulullah SAW., yaitu siddiq yang artinya jujur atau benar, amanah --dapat dipercaya, tabligh --komunikatif, fathanah –cerdas dan berpengetahuan.
Pada tataran implementasi, bobotnya terletak pada aspek muamalah, yaitu pengaturan tata hubungan antarkelompok masyarakat. Sejalan dengan proses dialektika, di mana selalu terjadi pergeseran nilai-nilai zaman, maka apa yang terungkap pada masa-masa yang kemudian, adalah terbentuknya sintesa-sintesa baru tentang konsep kepemimpinan dalam suatu setting sistem kenegaraan yang amat berbeda dengan zaman Nabi atau pun masa Mataram dulu. Karena itu, semua teori kepemimpinan itu harus memperoleh lahan penyemaian yang cocok dengan budaya setempat.

Dialog Budaya & Gelar Seni
Dalam kerangka pikir seperti itu, dan masih dalam suasana Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI, maka Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-35 akan mengangkat topik: “Makna Sufistik Kepemimpinan Jawa & Islam, Relevansinya Bagi Karakter Kepemimpinan Bangsa”. Narasumber pertama adalah Cak Kuswaedi Syafi’ie, MAg, Dosen Tasawuf UII Yogyakarta, Pembina Jama’ah Shaharu Layali (lek-lekan), Jama’ah Sholawatan Madura, akan mempertajam pembahasan aspek kepemimpinan dari perspektif tasawuf.

Narasumber kedua adalah KH. Syarif Mashur Ridlo, SE, Pengasuh Pondok Pesantren “Sultan Agung”, Sleman, akan mengupas dari perspektif ahlul sunnah wal jama’ah yang menjadi ciri khas gerakan Islam tradisional yang dikembangkan oleh Nahdlatul ‘Ulama. Narasumber ketiga adalah Eva Imania Eliasa, MPd, Representasi Jama’ah Thoriqoh Qodirriyah wa Naqsabandiyyah (TQN) Padepokan Surya Buana, Dosen Jurusan Psikologi Pendidikan & Bimbingan, Program Studi Bimbingan & Konseling UNY, Pecinta para Sufi, akan mengupas artikel Kyai Syech Ahmad Sirrulah Zaenuddin tentang ”Ngarsa Dalem” (Fanaa Fillah) dari fenomena psikologi kepemimpinan bangsa.

Narasumber keempat adalah KH. Abdul Muhaimin, Koordinator FPUB: Forum Persaudaraan Umat Beragama DIY, yang akan memberikan second opinion pembahasan aspek kepemimpinan dari perspektif tasawuf dan perwujudan harmoni kehidupan antaragama dan antarpemeluknya.









Dialog dipandu oleh KAW Wibbie Maharddhika, SFil, Pengasuh Ashabul Cafe, didampingi Hari Dendi, Pengasuh ”YogyaSemesta” sebagai Host. Gelar Seni  disesuaikan dengan suasana bulan suci Ramadhan, berupa Sholawatan dari Padepokan Sholawat, Donga Syi’ir Panggiring Ati, dan Fashion Show oleh Paras Ayu Collection. Diselenggarakan di Bangsal Kepatihan, Slasa Wage, 24 Agustus 2010, jam 19.30-22.00 (bakda Shalat Tarawih).


Yogyakarta, 16 Agustus 2010

Komunitas Budaya
“YogyaSemesta”,

ttd.

Hari Dendi
Pengasuh


[1] Dr. Purwadi, “Serat Bimo Suci”, www.jawapalace.org.
[2] SufiNews.Com, “Islam, Iman, dan Ihsan dalam Nilai Pergerakan”, 29 Juli 2004.
[3] Anonim, “Memperbarui Cara Kita Bertindak”, Renungan Akhir Tahun, 30 Desember 2001.