Senin, 19 Agustus 2013

PEREMPUAN – PEREMPUAN DI DAERAH KONFLIK DAN BENCANA DALAM MENGISI KEHIDUPAN DAN PERDAMAIAN

 
Perempuan untuk perdamaian, kalimat tersebut tidak hanya berarti bahwa perempuan hanya seorang tokoh terciptanya sebuah perdamaian, tetapi memiliki arti yang lebih besar bahwa perempuan banyak melakukan banyak hal untuk mengisi perdamaian. Tulisan ini adalah sebuah pengamatan saat berada di wilayah Pantai Barat Aceh di kota Meulaboh dan Nagan Raya setelah gempa dan tsunami melanda kota tersebut.
Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat besar luas wilayahnya, terletak diwilayah khatulistiwa, beriklim tropis yang membuat tanah dikepulauan Indonesia menjadi subur. Indonesia juga rawan akan bencana alam berupa gempa bumi tektonik (pergerakan lempeng bumi), gempa bumi vulkanik (letusan gunung api), gelombang pasang (tsunami), tanah longsor, banjir, kebakaran hutan. Selain itu bencana yang sering terjadi di Indonesia adalah kebakaran didaerah pemukinan padat penduduk.
Dari semua bencana yang terjadi, yang paling dirugikan adalah anak – anak dan perempuan. Perhatian pada Perempuan dan anak – anak di setiap bencana alam sangat kurang dan jauh dari yang diharapkan. Tetapi dalam keadaan seperti itu banyak perempuan yang tegar dan merekalah yang berusaha menggerakkan kembali roda perekonomian didaerah setelah bencana alam.
BENCANA ALAM DI ACEH
Pada 26 Desember 2004 terjadi Tsunami yang melanda propinsi NAD, adalah bencana alam terbesar yang terjadi di Indonesia pada tahun itu. Ratusan ribu orang menjadi korban dan hilang, ribuan bangunan dan infrastruktur lain hancur, kerugian harta benda yang sangat besar. Perekonomian didaerah yang terkena bencana lumpuh dan mati. Ribuan pengungsi bergantung pada bantuan, karena sudah tidak memiliki harta benda, hanya pakaian yang melekat dibadan saja yang mereka punya.
Dari ribuan pengungsi tersebut, perempuan dan anak – anak yang jumlahnya besar, namun bantuan untuk mereka sangat kurang dan bantuan yang dikirim dari daerah lain sangat memprihatinkan seperti pakaian layak pakai yang dikirimkan tidak bisa dipakai karena memang sudah tidak layak untuk manusia (pakaian bekas bukan layak pakai), hanya layak digunakan untuk kain lap atau kain pel. Itu terjadi saat kami berada di kota Meulaboh - Aceh Barat, maka barang – barang yang masuk dari pelabuhan diperiksa ulang dan di sortir. Prioritas utama mencari pakaian untuk perempuan dan anak – anak. Banyak permintaan dari Ibu – ibu bahwa mereka mencari pakaian dalam karena sudah hampir satu minggu tidak ganti, kiriman pakaian dalam yang ada sangat kurang sehingga sering terjadi keributan antar mereka karena memperebutkan barang tersebut. Kami berusaha menenangkan para ibu, kiriman akan datang dari kota Medan pada malam hari, karena waktu tempuh Medan – Meulaboh menjadi lebih lama karena rusaknya jalan dan jembatan akibat gempa yang terjadi sebelum tsunami. Juga banyaknya kendaraan truk – truk pembawa bantuan untuk para pengungsi sehingga terjadi antrian panjang dijalan – jalan dan jembatan yang rusak.
Walaupun mereka berada dalam kondisi bencana dan berada pada daerah konflik, mereka tetap tegar dalam menghadapi keadaan. Mak Minem adalah salah satu dari sekian banyak perempuan yang menjadi korban bencana alam gempa dan tsunami, 18 orang anggota keluarganya hilang dan meninggal terbawa gelombang tsunami di desa Lueng Mane. Mak Minem beserta anak perempuan dan cucunya selamat karena saat terjadi gempa dan tsunami, ikut anak perempuannya yang bekerja di kota Meulaboh sebagai juru masak. Mereka mengungsi ke daerah yang tinggi di gedung KLK (Kelompok Latihan Kerja) milik dinas tenaga kerja yang sudah tidak digunakan, bersama dengan pengungsi lain yang berjumlah ± 300 orang.
Saat itu kami datang membuka posko di lokasi tersebut untuk menampung kiriman bantuan untuk pengungsi berupa makanan, pakaian, tenda dan lainnya. Kami membuka klinik kesehatan untuk pengungsi, dapur umum untuk relawan dan pengungsi.
Mak Minem dengan semangat meminta pada kami untuk membantu memasak, agar beliau ada kesibukan untuk menghapus kesedihan memikirkan keluarganya yang hilang. Beliau adalah perempuan yang tegar dalam mengisi kehidupan, dari jaman Belanda, Mak Minem yang berasal dari Jawa sudah tinggal di Aceh sebagai pekerja perkebunan sawit.
Selama di pengungsian, Mak Minem terus membantu kami memasak hingga awal bulan Pebruari 2005. Mak Minem dan keluarganya dipindahkan ke barak di daerah Padang Panjang, Posko kami pun pindah kedaerah Simpang Peut kabupaten Nagan Raya. Saat kami mengunjungi Mak Minem dibarak Padang Panjang, Beliau mendapat tugas memasak makanan dari UNICEF untuk 300 anak setiap hari. Beberapa bulan setelah gempa dan Tsunami sebuah lembaga Intenasional membangun kembali  rumah Mak Minem yang hancur akibat tsunami.
Seorang Ibu yang tinggal dengan anak perempuannya di daerah Simpang Peut dekat dengan posko kami, rumahnya rusak akibat gempa berkekuatan 9.0 SR tanggal 26 Desember 2004, daerah itu tidak terkena tsunami karena berjarak 30 km dari kota Meulaboh. Beliau mengatakan tidak adanya bantuan bagi korban gempa, karena  semua lembaga dan pemerintah hanya terfokus pada korban gempa dan tsunami yang wilayahnya dekat dengan pantai. Namun Ibu itu tetap tegar, walau tanpa bantuan tetap berusaha memperoleh biaya untuk memperbaiki rumahnya yang rusak dari hasilnya berjualan rujak di pasar Simpang Peut. Beliau pun dapat membiaya sekolah anak perempuannya, hingga anaknya menjadi guru sekolah dasar
Suatu hari, ibu itu datang ke posko kami dan menyampaikan bahwa beliau akan membangun kembali rumahnya, tetapi untuk atap rumah masih ada kekurangan. Untuk itu beliau memohon agar diberikan bantuan beberapa lembar seng. Permohoan itu kami penuhi.
Tiga bulan setelah gempa dan tsunami berlalu, masa tanggap darurat mulai berubah memasuki tahap rehabilitasi. Sebelum terjadinya gempa dan tsunami banyak perempuan – perempuan di Meulaboh dan Nagan Raya mempunyai usaha rumah tangga (home industri) yang terdiri dari pembuat tempe, pembuat kue, pembuat minyak kelapa, penjahit. Usaha mereka terhenti akibat gempa dan tsunami yang menghancurkan dan menghanyutkan alat – alat usaha mereka.
JENIS USAHA
KEBUTUHAN ALAT
KEBUTUHAN BAHAN
HASIL
Pembuat Tempe
Kompor, kukusan, ember besar
Kacang kedelai, ragi tempe
Tempe
Pembuat Kue
Kompor, kuali besar,
Oven, baskom
Terigu, gula, kelapa
Aneka macam kue
Pembuat Minyak Kelapa
Kukur / Parutan Kelapa, Genset, Kompor, Kuali besar, Ember besar,Saringan
Buah Kelapa
Minyak kelapa
Penjahit
Mesin Jahit, Genset
Bahan/Kain, benang
Baju, Sarung bantal, jilbab, dll
Dengan adanya lembaga – lembaga yang datang mereka berharap untuk dapat memulai kembali usaha yang dari sejak dahulu mereka telah lakukan. Walaupun dalam kondisi yang darurat dengan hidup dibarak – barak pengungsian mereka tetap melakukan kegiatan usaha.
Kelompok pembuat tempe melakukan pembuatan tempe dibarak Kuala Tadu. Pekerjaan mereka lakukan bersama – sama, mulai mencari kayu, mencuci kacang kedelai, mengukus dan membungkus. Setelah dikukus kacang kedelai diberi ragi tempe dan dibungkus lalu disimpan beberapa hari hingga menjadi tempe. Tempe yang telah jadi mereka pasarkan pada hari pekan atau hari pasar yang berlangsung pada hari minggu, di pasar Simpang Peut Nagan Raya dan Pasar Rundeng Meulaboh. Sebagian kecil mereka konsumsi bersama dibarak. Hasil dari penjualan tempe sebagian mereka simpan dalam tabungan kelompok di Bank.
Kelompok pembuat kue melakukan kegiatan di barak Kuala Tadu dan di Desa Kuala Tuha dengan jenis kue yang berbeda antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Hal ini telah disepakati dalam diskusi antar kelompok kue. Kelompok kue di Barak Kuala Tadu membuat kue bolu. Sedangkan kelompok kue di desa Kuala Tuha membuat kue kering. Kue – kue ini mereka pasarkan pada hari pekan (hari pasar) dan di kedai – kedai yang dekat dengan lokasi mereka. Kelompok kue juga menerima pesanan dari masyarakat untuk acara kenduri, pesijuk dan acara lainnya. Hasil dari penjualan kue, mereka simpan dalam tabungan kelompok di Bank.
 Kelompok pembuat minyak kelapa di desa Kuala Tuha melakukan kegiatan pembuatan minyak kelapa di lokasi yang dekat dengan kebun kelapa milik mereka. Walau diterjang gelombang tsunami Pohon kelapa tetap kokoh berdiri. Kelmpok pembuat minyak kelapa bersyukur karena bahan baku pembuatan minyak kelapa tetap tersedia dalam jumlah yang besar. Pembuatan minyak kelapa dilakukan bersama – sama dari pemilihan buah kelapa, memarut kelapa (kukur kelapa), memeras santan kelapa, memasak santan hingga menjadi minyak kelapa, penyaringan dan penyimpanan dalam wadah botol atau plastik yang siap untuk dipasarkan. Penjualan minyak kelapa dilakukan saat hari pekan (hari pasar) setiap hari Minggu. Hasil penjualan minyak kelapa, sebagian mereka simpan dalam tabungan kelompok di Bank.
Kelompok menjahit di desa Kuala Baro selain membuat pakaian, sarung bantal juga membuat tas dengan bahan tali yang dianyam sehingga menjadi bentuk tas yang diinginkan. Sedangkan kelompok menjahit desa Kuala Tripa selain membuat pakaian, sarung bantal, jilbab juga menerima pesanan untuk membuat   tempat / kantong HP. Hasil penjualan yang mereka terima sebagian disimpan dalam tabungan kelompok di Bank.
Selain Ibu – ibu dari kelompok – kelompok usaha rumah tangga, ada beberapa perempuan yang berjuang dalam mengisi kehidupan dan perdamaian. Mereka adalah perempuan – perempuan yang tegar dalam menjalankan usahanya sebagai pedagang.
Ibu Umi adalah seorang pedagang pakaian dan cinderamata khas Aceh. Sudah sejak lama Ibu Umi menekuni usahanya, namun saat bencana alam gempa dan tsunami terjadi tempat usaha dan tempat tinggalnya yang berada di pusat kota Meulaboh rusak karena tersapu gelombang tsunami. Ibu Umi pergi mengungsi, tak terpikirkan membawa barang apapun, hanya HP yang dipegangnya yang dibawa. Untuk memulai kembali usahanya Ibu Umi merasa tidak mungkin karena seluruh harta bendanya hilang. Namun siapa menyangka Allah memberinya jalan keluar. Dengan HP yang dibawanya Ibu Umi menghubungi rekan – rekannya para pengrajin cinderamata yang berada di kota lain. Dengan bantuan dari rekan – rekannya, Ibu Umi memulai kembali usahanya berdagang. Menyewa toko dekat Masjid Raya Meulaboh yang tidak terkena tsunami dan tidak rusak akibat gempa. Dua bulan setelah terjadi gempa dan tsunami usaha Ibu Umi mulai kembali berjalan dan lebih banyak pembeli, karena banyak pekerja sosial dari NGO lokal maupun asing yang berada di kota Meulaboh membeli cinderamata khas Aceh untuk keluarga atau teman mereka ditempat masing – masing.
Ada pengalaman lain dari seorang Ibu yang memiliki usaha penjualan berbagai macam mesin (genset, pompa air, dll), semua jenis baut, dan masih banyak lagi yang lainnya. Dikota Meulaboh dan sekitarnya semua orang mengenal toko yang bernama “Usaha Giat” sebagai toko onderdil serba ada. Karena bila di toko lain tidak ada maka pemilik toko tersebut akan menyarankan pembeli untuk datang ke toko Usaha Giat tersebut. Beliau adalah perempuan keturunan Tionghoa generasi ketiga yang lahir dan tinggal di Meulaboh. Tempat usaha dan tempat tinggalnya berupa ruko tiga laintai yang tidak rusak karena gempa hanya terendam air tsunami pada lantai dasar setinggi 2 meter, terletak dipusat perdagangan kota Meulaboh depan terminal bus antar kota. Sehingga beliau dapat menjalankan kembali usaha setelah air surut dan sampah – sampah dibersihkan. Barang – barang yang terendam air dan masih dapat digunakan tidak dijual tetapi diberikan kepada siapa saja yang memerlukannya, perorangan maupun NGO. Karena banyak NGO yang berkerja di kota Meulaboh dan sekitarnya membeli peralatan untuk aktifitas dan bantuan (pompa air, genset, dll) di toko beliau termasuk lembaga kami. Bila barang yang dicari tidak ada, maka beliau akan menolong mencarikannya dengan menghubungi rekannya yang berada di kota Medan dan harga yang sama tanpa tambahan walau secara khusus beliau memesan dalam dua hari harus tiba di Meulaboh. Bila ada barang yang salah beli, beliau dengan senang hati menukarnya sesuai dengan yang kita kehendaki.
Perempuan asal Aceh lainnya yang mempunyai usaha menjual alat – alat rumah tangga bernama Ibu Icut. Saat gempa dan tsunami terjadi tokonya yang berada dipusat kota Meulaboh hancur tersapu gelombang tsunami. Namun beliau masih memiliki satu toko lagi yang berada dekat pasar rundeng. Setelah air pasang tsunami surut. Beliau mendatangi lokasi tokonya yang hancur lalu mengumpulkan barang – barang dagangan yang tidak rusak hanya tertutup lumpur seperti panci, kuali dibawa untuk dicuci hingga dapat dijual kembali. Usaha beliau sebagai penjual alat rumah tangga menurun karena sepi pembeli akibat bencana alam yang membuat sebagian penduduk menjadi pengungsi. Namun usaha dan ketegarannya untuk terus berdagang membuahkan hasil. Banyak pembeli yang berasal dari NGO – NGO baik lokal maupun asing yang membeli dan memesan barang rumah tangga (lampu, kompor, panci, kuali, dll) untuk bantuan korban bencana dan kelompok – kelompok usaha rumah tangga.
Demikianlah tulisan dari pengamatan saya selama berada di Meulaboh dan Nagan Raya dalam lembaga Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) dari tanggal 29 Desember 2004 sampai dengan 1 Januari 2006. Semoga tulisan ini dapat berguna bagi yang membacanya. Dengan harapan organisasi – organisasi perempuan yang ada di Indonesia lebih memperhatikan perempuan dan anak di daerah konflik dan bencana. Serta tidak mendiskriminasi sesama perempuan. .

Depok, 28 / 02 / 2007

Chandra A Erawan