Perempuan untuk perdamaian, kalimat tersebut tidak
hanya berarti bahwa perempuan hanya seorang tokoh terciptanya sebuah
perdamaian, tetapi memiliki arti yang lebih besar bahwa perempuan banyak
melakukan banyak hal untuk mengisi perdamaian. Tulisan ini adalah sebuah
pengamatan saat berada di wilayah Pantai Barat Aceh di kota Meulaboh dan Nagan
Raya setelah gempa dan tsunami melanda kota tersebut.
Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat
besar luas wilayahnya, terletak diwilayah khatulistiwa, beriklim tropis yang
membuat tanah dikepulauan Indonesia menjadi subur. Indonesia juga rawan akan bencana
alam berupa gempa bumi tektonik (pergerakan lempeng bumi), gempa bumi vulkanik
(letusan gunung api), gelombang pasang (tsunami), tanah longsor, banjir,
kebakaran hutan. Selain itu bencana yang sering terjadi di Indonesia adalah
kebakaran didaerah pemukinan padat penduduk.
Dari semua bencana yang terjadi, yang paling
dirugikan adalah anak – anak dan perempuan. Perhatian pada Perempuan dan anak –
anak di setiap bencana alam sangat kurang dan jauh dari yang diharapkan. Tetapi
dalam keadaan seperti itu banyak perempuan yang tegar dan merekalah yang
berusaha menggerakkan kembali roda perekonomian didaerah setelah bencana alam.
BENCANA ALAM DI ACEH
Pada 26 Desember 2004 terjadi Tsunami yang melanda
propinsi NAD, adalah bencana alam terbesar yang terjadi di Indonesia pada tahun
itu. Ratusan ribu orang menjadi korban dan hilang, ribuan bangunan dan
infrastruktur lain hancur, kerugian harta benda yang sangat besar. Perekonomian
didaerah yang terkena bencana lumpuh dan mati. Ribuan pengungsi bergantung pada
bantuan, karena sudah tidak memiliki harta benda, hanya pakaian yang melekat dibadan
saja yang mereka punya.
Dari ribuan pengungsi tersebut, perempuan dan anak
– anak yang jumlahnya besar, namun bantuan untuk mereka sangat kurang dan
bantuan yang dikirim dari daerah lain sangat memprihatinkan seperti pakaian
layak pakai yang dikirimkan tidak bisa dipakai karena memang sudah tidak layak
untuk manusia (pakaian bekas bukan layak pakai), hanya layak digunakan untuk
kain lap atau kain pel. Itu terjadi saat kami berada di kota Meulaboh - Aceh
Barat, maka barang – barang yang masuk dari pelabuhan diperiksa ulang dan di
sortir. Prioritas utama mencari pakaian untuk perempuan dan anak – anak. Banyak
permintaan dari Ibu – ibu bahwa mereka mencari pakaian dalam karena sudah
hampir satu minggu tidak ganti, kiriman pakaian dalam yang ada sangat kurang
sehingga sering terjadi keributan antar mereka karena memperebutkan barang
tersebut. Kami berusaha menenangkan para ibu, kiriman akan datang dari kota
Medan pada malam hari, karena waktu tempuh Medan – Meulaboh menjadi lebih lama
karena rusaknya jalan dan jembatan akibat gempa yang terjadi sebelum tsunami.
Juga banyaknya kendaraan truk – truk pembawa bantuan untuk para pengungsi
sehingga terjadi antrian panjang dijalan – jalan dan jembatan yang rusak.
Walaupun mereka berada dalam kondisi bencana dan
berada pada daerah konflik, mereka tetap tegar dalam menghadapi keadaan. Mak
Minem adalah salah satu dari sekian banyak perempuan yang menjadi korban
bencana alam gempa dan tsunami, 18 orang anggota keluarganya hilang dan
meninggal terbawa gelombang tsunami di desa Lueng Mane. Mak Minem beserta anak
perempuan dan cucunya selamat karena saat terjadi gempa dan tsunami, ikut anak
perempuannya yang bekerja di kota Meulaboh sebagai juru masak. Mereka mengungsi
ke daerah yang tinggi di gedung KLK (Kelompok Latihan Kerja) milik dinas tenaga
kerja yang sudah tidak digunakan, bersama dengan pengungsi lain yang berjumlah
± 300 orang.
Saat itu kami datang membuka posko di lokasi
tersebut untuk menampung kiriman bantuan untuk pengungsi berupa makanan,
pakaian, tenda dan lainnya. Kami membuka klinik kesehatan untuk pengungsi, dapur
umum untuk relawan dan pengungsi.
Mak Minem dengan semangat meminta pada kami untuk
membantu memasak, agar beliau ada kesibukan untuk menghapus kesedihan memikirkan
keluarganya yang hilang. Beliau adalah perempuan yang tegar dalam mengisi
kehidupan, dari jaman Belanda, Mak Minem yang berasal dari Jawa sudah tinggal
di Aceh sebagai pekerja perkebunan sawit.
Selama di pengungsian, Mak Minem terus membantu
kami memasak hingga awal bulan Pebruari 2005. Mak Minem dan keluarganya
dipindahkan ke barak di daerah Padang Panjang, Posko kami pun pindah kedaerah
Simpang Peut kabupaten Nagan Raya. Saat kami mengunjungi Mak Minem dibarak
Padang Panjang, Beliau mendapat tugas memasak makanan dari UNICEF untuk 300
anak setiap hari. Beberapa bulan setelah gempa dan Tsunami sebuah lembaga
Intenasional membangun kembali rumah Mak
Minem yang hancur akibat tsunami.
Seorang Ibu yang tinggal dengan anak perempuannya
di daerah Simpang Peut dekat dengan posko kami, rumahnya rusak akibat gempa
berkekuatan 9.0 SR tanggal 26 Desember 2004, daerah itu tidak terkena tsunami
karena berjarak 30 km dari kota Meulaboh. Beliau mengatakan tidak adanya
bantuan bagi korban gempa, karena semua
lembaga dan pemerintah hanya terfokus pada korban gempa dan tsunami yang
wilayahnya dekat dengan pantai. Namun Ibu itu tetap tegar, walau tanpa bantuan
tetap berusaha memperoleh biaya untuk memperbaiki rumahnya yang rusak dari
hasilnya berjualan rujak di pasar Simpang Peut. Beliau pun dapat membiaya
sekolah anak perempuannya, hingga anaknya menjadi guru sekolah dasar
Suatu hari, ibu itu datang ke posko kami dan
menyampaikan bahwa beliau akan membangun kembali rumahnya, tetapi untuk atap
rumah masih ada kekurangan. Untuk itu beliau memohon agar diberikan bantuan
beberapa lembar seng. Permohoan itu kami penuhi.
Tiga bulan setelah gempa dan tsunami berlalu, masa
tanggap darurat mulai berubah memasuki tahap rehabilitasi. Sebelum terjadinya
gempa dan tsunami banyak perempuan – perempuan di Meulaboh dan Nagan Raya
mempunyai usaha rumah tangga (home industri) yang terdiri dari pembuat tempe, pembuat
kue, pembuat minyak kelapa, penjahit. Usaha mereka terhenti akibat gempa dan
tsunami yang menghancurkan dan menghanyutkan alat – alat usaha mereka.
JENIS
USAHA
|
KEBUTUHAN
ALAT
|
KEBUTUHAN
BAHAN
|
HASIL
|
Pembuat Tempe
|
Kompor, kukusan, ember besar
|
Kacang kedelai, ragi tempe
|
Tempe
|
Pembuat Kue
|
Kompor, kuali besar,
Oven, baskom
|
Terigu, gula, kelapa
|
Aneka macam kue
|
Pembuat Minyak Kelapa
|
Kukur / Parutan Kelapa,
Genset, Kompor, Kuali besar, Ember besar,Saringan
|
Buah Kelapa
|
Minyak kelapa
|
Penjahit
|
Mesin Jahit, Genset
|
Bahan/Kain, benang
|
Baju, Sarung bantal, jilbab, dll
|
Dengan adanya lembaga – lembaga yang datang mereka
berharap untuk dapat memulai kembali usaha yang dari sejak dahulu mereka telah
lakukan. Walaupun dalam kondisi yang darurat dengan hidup dibarak – barak
pengungsian mereka tetap melakukan kegiatan usaha.
Kelompok pembuat tempe melakukan pembuatan tempe
dibarak Kuala Tadu. Pekerjaan mereka lakukan bersama – sama, mulai mencari
kayu, mencuci kacang kedelai, mengukus dan membungkus. Setelah dikukus kacang
kedelai diberi ragi tempe dan dibungkus lalu disimpan beberapa hari hingga
menjadi tempe. Tempe yang telah jadi mereka pasarkan pada hari pekan atau hari
pasar yang berlangsung pada hari minggu, di pasar Simpang Peut Nagan Raya dan
Pasar Rundeng Meulaboh. Sebagian kecil mereka konsumsi bersama dibarak. Hasil
dari penjualan tempe sebagian mereka simpan dalam tabungan kelompok di Bank.
Kelompok pembuat kue melakukan kegiatan di barak
Kuala Tadu dan di Desa Kuala Tuha dengan jenis kue yang berbeda antara kelompok
yang satu dengan kelompok yang lain. Hal ini telah disepakati dalam diskusi
antar kelompok kue. Kelompok kue di Barak Kuala Tadu membuat kue bolu. Sedangkan
kelompok kue di desa Kuala Tuha membuat kue kering. Kue – kue ini mereka
pasarkan pada hari pekan (hari pasar) dan di kedai – kedai yang dekat dengan
lokasi mereka. Kelompok kue juga menerima pesanan dari masyarakat untuk acara
kenduri, pesijuk dan acara lainnya. Hasil dari penjualan kue, mereka simpan
dalam tabungan kelompok di Bank.
Kelompok
pembuat minyak kelapa di desa Kuala Tuha melakukan kegiatan pembuatan minyak
kelapa di lokasi yang dekat dengan kebun kelapa milik mereka. Walau diterjang
gelombang tsunami Pohon kelapa tetap kokoh berdiri. Kelmpok pembuat minyak
kelapa bersyukur karena bahan baku pembuatan minyak kelapa tetap tersedia dalam
jumlah yang besar. Pembuatan minyak kelapa dilakukan bersama – sama dari
pemilihan buah kelapa, memarut kelapa (kukur kelapa), memeras santan kelapa,
memasak santan hingga menjadi minyak kelapa, penyaringan dan penyimpanan dalam
wadah botol atau plastik yang siap untuk dipasarkan. Penjualan minyak kelapa
dilakukan saat hari pekan (hari pasar) setiap hari Minggu. Hasil penjualan
minyak kelapa, sebagian mereka simpan dalam tabungan kelompok di Bank.
Kelompok menjahit di desa Kuala Baro selain
membuat pakaian, sarung bantal juga membuat tas dengan bahan tali yang dianyam
sehingga menjadi bentuk tas yang diinginkan. Sedangkan kelompok menjahit desa
Kuala Tripa selain membuat pakaian, sarung bantal, jilbab juga menerima pesanan
untuk membuat tempat / kantong HP.
Hasil penjualan yang mereka terima sebagian disimpan dalam tabungan kelompok di
Bank.
Selain Ibu – ibu dari kelompok – kelompok usaha
rumah tangga, ada beberapa perempuan yang berjuang dalam mengisi kehidupan dan
perdamaian. Mereka adalah perempuan – perempuan yang tegar dalam menjalankan
usahanya sebagai pedagang.
Ibu Umi adalah seorang pedagang pakaian dan cinderamata
khas Aceh. Sudah sejak lama Ibu Umi menekuni usahanya, namun saat bencana alam
gempa dan tsunami terjadi tempat usaha dan tempat tinggalnya yang berada di
pusat kota Meulaboh rusak karena tersapu gelombang tsunami. Ibu Umi pergi
mengungsi, tak terpikirkan membawa barang apapun, hanya HP yang dipegangnya
yang dibawa. Untuk memulai kembali usahanya Ibu Umi merasa tidak mungkin karena
seluruh harta bendanya hilang. Namun siapa menyangka Allah memberinya jalan
keluar. Dengan HP yang dibawanya Ibu Umi menghubungi rekan – rekannya para
pengrajin cinderamata yang berada di kota lain. Dengan bantuan dari rekan –
rekannya, Ibu Umi memulai kembali usahanya berdagang. Menyewa toko dekat Masjid
Raya Meulaboh yang tidak terkena tsunami dan tidak rusak akibat gempa. Dua
bulan setelah terjadi gempa dan tsunami usaha Ibu Umi mulai kembali berjalan
dan lebih banyak pembeli, karena banyak pekerja sosial dari NGO lokal maupun
asing yang berada di kota Meulaboh membeli cinderamata khas Aceh untuk keluarga
atau teman mereka ditempat masing – masing.
Ada pengalaman lain dari seorang Ibu yang memiliki
usaha penjualan berbagai macam mesin (genset, pompa air, dll), semua jenis
baut, dan masih banyak lagi yang lainnya. Dikota Meulaboh dan sekitarnya semua
orang mengenal toko yang bernama “Usaha Giat” sebagai toko onderdil serba ada.
Karena bila di toko lain tidak ada maka pemilik toko tersebut akan menyarankan
pembeli untuk datang ke toko Usaha Giat tersebut. Beliau adalah perempuan
keturunan Tionghoa generasi ketiga yang lahir dan tinggal di Meulaboh. Tempat usaha
dan tempat tinggalnya berupa ruko tiga laintai yang tidak rusak karena gempa
hanya terendam air tsunami pada lantai dasar setinggi 2 meter, terletak dipusat
perdagangan kota Meulaboh depan terminal bus antar kota. Sehingga beliau dapat
menjalankan kembali usaha setelah air surut dan sampah – sampah dibersihkan.
Barang – barang yang terendam air dan masih dapat digunakan tidak dijual tetapi
diberikan kepada siapa saja yang memerlukannya, perorangan maupun NGO. Karena banyak
NGO yang berkerja di kota Meulaboh dan sekitarnya membeli peralatan untuk
aktifitas dan bantuan (pompa air, genset, dll) di toko beliau termasuk lembaga
kami. Bila barang yang dicari tidak ada, maka beliau akan menolong
mencarikannya dengan menghubungi rekannya yang berada di kota Medan dan harga
yang sama tanpa tambahan walau secara khusus beliau memesan dalam dua hari
harus tiba di Meulaboh. Bila ada barang yang salah beli, beliau dengan senang
hati menukarnya sesuai dengan yang kita kehendaki.
Perempuan asal Aceh lainnya yang mempunyai usaha
menjual alat – alat rumah tangga bernama Ibu Icut. Saat gempa dan tsunami
terjadi tokonya yang berada dipusat kota Meulaboh hancur tersapu gelombang
tsunami. Namun beliau masih memiliki satu toko lagi yang berada dekat pasar
rundeng. Setelah air pasang tsunami surut. Beliau mendatangi lokasi tokonya
yang hancur lalu mengumpulkan barang – barang dagangan yang tidak rusak hanya
tertutup lumpur seperti panci, kuali dibawa untuk dicuci hingga dapat dijual
kembali. Usaha beliau sebagai penjual alat rumah tangga menurun karena sepi
pembeli akibat bencana alam yang membuat sebagian penduduk menjadi pengungsi.
Namun usaha dan ketegarannya untuk terus berdagang membuahkan hasil. Banyak
pembeli yang berasal dari NGO – NGO baik lokal maupun asing yang membeli dan
memesan barang rumah tangga (lampu, kompor, panci, kuali, dll) untuk bantuan
korban bencana dan kelompok – kelompok usaha rumah tangga.
Demikianlah tulisan dari pengamatan saya selama
berada di Meulaboh dan Nagan Raya dalam lembaga Koalisi Masyarakat Sipil (KMS)
dari tanggal 29 Desember 2004 sampai dengan 1 Januari 2006. Semoga tulisan ini
dapat berguna bagi yang membacanya. Dengan harapan organisasi – organisasi
perempuan yang ada di Indonesia lebih memperhatikan perempuan dan anak di
daerah konflik dan bencana. Serta tidak mendiskriminasi sesama perempuan. .
Depok, 28 / 02 / 2007
Chandra A Erawan